BEST CLASS E/KP/07

BEST CLASS E/KP/07

Senin, 31 Mei 2010

ASKEP SIROSIS HATI

Siti Fatimah 04.07.1780 (e/kp/6)

SIROSIS HATI


DEFINISI
Sirosis hati adalah penyakit hati kronik yang dicirikan oleh distorsi arsitektur hati yang normal oleh lembar – lembar jaringan ikat dan nodula – nodula regenerasi sel hati, yang tidak berkaitan dengan vaskulatur normal. Nodula – nodula regenerasi ini dapat kecil (mikronodular) atau besar (makronodular). Sirosis dapat mengganggu sirkulasi darah intrahepatic, dan pada kasus yang sangat lanjut, menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertingkat. Ada 3 tipe sirosis :
1. Sirosis portal Laennec (alkoholik, nutrisional), dimana jaringan parut secara khas mengelilingi daerah portal. Sirosis ini paling sering diakibatkan oleh alkoholisme kronis.
2. Sirosis pascanekrotik, dimana terdapat pita jaringan parut yang lebar sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi sebelumnya.
3. Sirosis bilier, dimana jaringan parut terjadi di dalam hati di sekitar empedu. Tipe ini biasanya terjadi akibat obstruksi bilier yang kronis dan infeksi (kolangitis).

PATOFISIOLOGI
1. Sirosis Laennec
Perubahan pertama yang ditimbulkan alcohol adalah akumulasi lemak secara gradual di dalam sel – sel hati (infiltrasi lemak). Akumulasi lemak mencerminkan adanya sejumlah gangguan metabolic, termasuk pembentukan trigliserida secara berlebihan, pemakaiannya yang berkurang dalam pembentukan lipoprotein dan penurunan oksidasi asam lemak. Mungkin pula individu yang mengkonsumsialkohol dalam jumlah berlebihan . tidak makan secara layak dan gagal mengkonsumsi protein dalam jumlah yang cukup (kolin dan metionin), diketahui diet rendah protein akan menekan aktivitas dari dehidrogenase alcohol, yaitu enzim utama dalam metabolisme alcohol. Namun demikian , sebab utama kerusakan pada hati diduga merupakan efek langsung alcohol terhadap sel – sel hati, yang akan diperberat oleh keadaan malnutrisi. Pada kasus sirosis Laennec yang lanjut , lembaran – lembaran jaringan ikat yang tebal terbentuk pada pinggir – pinggir lobulus, membagi parenkim menjadi nodula – nodula halus. Nodula – nodula inidapat membesar akibat aktifitas regenerasi sebagai usaha hati untuk mengganti sel – sel hati yang rusak. Hati tampak terdiri dari sarang – sarang sel – sel degenerasi dan regenerasi yang dikemas padat dalam kapsula fibrosayang tebal. Pada keadaan ini, sirosis sering disebut sebagai sirosis nodular halus,. Hati akan menciut, keras dan hampir tidak memeiliki parenkim normal pada akhir stadium sirosis , dengan akibat hipertensi portal dan gagal hati.

2. Sirosis postnekrotik
Sirosis postnekrotik terjadi menyusul nekrosis berbercak pada jaringan hati, menimbulkan nodula – nodula degeneratif besar dan kecil yang dikelilingi dan dipisah – pisahkan oleh jaringan parut, berselang – seling dengan jaringan parenkim normal. Banyaknya pasien denga hasil tes HBsAg positif menunjukan bahwa hepatitis kronik aktif agaknya merupakan peristiwa yang besar peranannya.

3. Sirosis biliaris
Penyebab sirosis biliaris yang paling umum adalah obstruksi biliaris posthepatik. Stasis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati dengan akibat kerusakan sel – sel hati. Terbentuk lembar – lembar fibrosa di tepi lobulus, namun jarang memotong lobulus seperti pada sirosis Laennec. Hati membesar, keras, bergranula halus dan berwarna kehijauan. Ikterus selalu menjadi bagian awal dan primer dari sindrom, demkian pula pruritus, malabsorbsi dan steatorea.

TANDA DAN GEJALA
Gejala dini adalah samar dan non spesifik, berupa kelelahan, anoreksia, dyspepsia, flatulen, perubahan kebiasaan defekasi (konstipasi atau diare), berat badan sedikit berkurang. Nausea dan muntah, khususnya di pagi hari. Nyeri tumpul atau perasaan berat pada epigastrium atau kuadran kanan atas tedapat pada separuh dari semua penderita. Pada kebanyakan kasus, hati keras dan mudah teraba tanpa memandang apakah hati membesar atau mengalami atrofi. Manifestasi utama dan lanjut dari sirosis merupakan akibat dari dua tipe gangguan fisiologis ; gagal sel hati dan hipertensi portal. Manifestasi gagal hepatoselular adalah ikterus, edema perifer, kecenderungan peradarahan, eritema palmaris (telapak tangan merah), angioma laba – laba, fetor hepatikum dan ensefalopati hepatic.

KEMUNGKINAN KOMPLIKASI
1. Perdarahan pada saluran cerna
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya pada sirosis adalah perdarahan perdarahan pada varises esofagus. Penyebab lain dari perdarahan adalah tukak lambung dan duodenum, erosi lambung akut dan kecenderungan untuk berdarah (sebagai akibat masa protrombin yang memanjang dan trombositopenia). Penderita dating dengan melena atau hematemesis. Kadang – kadang tanda pertama perdarahan adalah ensefalopati hepatic. Tergantung dari jumlah dan kecepatan kehilangan darah, dapat terjadi hipovolemia dan hipotensi.
2. Asites
Faktor utama patognesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus (hipertensi porta) dan penurunan tekanan osmotic koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor lain yang berperanan adalah retensi natrium dan air dan peningkatan sintesis san aliran limfe hati.
3. Ensefalopati hepatic
Ensefalopati terjadi jika amonia dan zat – zat toksik lainmasuk dalam sirkulasi sistemik. Sumber amonia adalah pemecahan protein oleh bakteri saluran cerna. Ensefalopati hepatic akan terjadi jika darah tidak dikeluarkan melalui aspirasi lambung, pemberian pencahar dan enma, dan bila pemecahan protein darah oleh bakteri tidak dicegahdengan pemberian neomisin atau antibiotik sejenis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada disfungsi parenkimal, kadar albumin serum cenderung menurun sementara kadar globulin serum meningkat. Pemerikasaan enzim menunjukan kerusakan sel hati aitu : kadar alakai fosfatase, AST (SGOT) serta ALT (SGPT) meningkat dan kadar kolinesterase serum dapat menurun. Pemeriksaan bilirubin dilakukan untuk mengukur ekskresi empedu atau retensi empedu. Laparoskopi yang dikerjakan bersama biopsy memungkinkan pemeriksa melihat hati secara langsung. Pemeriksaan USG akan mengukur perbedaan densitas antara sel – sel parenkim hati dan jaringan parut. Pemeriksaan pemindai CT , MRI dan pemindai radioisotop hati akan memberikan informasi tentang besar hati dan aliran darah hepatic serta obstruksi aliran tersebut. Analisis gas darah arterial dapat mengungkapkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi dan hipoksia pada sirosis hati.

TERAPI
Terapi diberikan berdasarkan gejala yang ada, misalnya antasid diberikan untuk mengurangi distress lambungdan meminimalkan kemungknan perdarahan gastrointestinal. Vitamin dan suplemen nutrisi akan meningkatkan proses kesembuhan pada sel – sel hati yang rusak dan memperbaiki status gizi klien. Pemberian preparat diuretic yang mempertahankan kalium (spironolakton) mungkin diperlukan untuk mengurangi asites jika gejala ini ada. Masukan kalori dan protein yang adekuat merupakan bagian esensial dalam penanganan sirosis bersama – sama menghindari konsumsi alcohol. Colchicines merupakan preparat anti – inflamasi untuk mengobati gejala gout, dapat memperpanjang kelangsungan hidup penderita sirosis ringan hingga sedang.

ASUHAN KEPERAWATAN GLAUKOMA

BY : SULISTIYOWATI
04.07.1783

ASUHAN KEPERAWATAN GLAUKOMA

A. DEFINISI
Glaukoma adalah suatu penyakit yang memberikan gambaran klinik berupa peninggian tekanan bola mata, penggaungan papil saraf optik dengan defek lapang pandangan mata.(Sidarta Ilyas,2000).
Galukoma adalah sekelompok kelainan mata yang ditandai dengan peningkatan tekanan intraokuler.( Long Barbara, 1996)
B. ETIOLOGI
Penyakit yang ditandai dengan peninggian tekanan intraokuler ini disebabkan oleh :
- Bertambahnya produksi cairan mata oleh badan ciliary
- Berkurangnya pengeluaran cairan mata di daerah sudut bilik mata atau di celah pupil
C. KLASIFIKASI
1. Glaukoma primer
@ Glaukoma sudut terbuka
Merupakan sebagian besar dari glaukoma ( 90-95% ) , yang meliputi kedua mata. Timbulnya kejadian dan kelainan berkembang secara lambat. Disebut sudut terbuka karena humor aqueousmempunyai pintu terbuka ke jaringan trabekular. Pengaliran dihambat oleh perubahan degeneratif jaringan rabekular, saluran schleem, dan saluran yg berdekatan. Perubahan saraf optik juga dapat terjadi. Gejala awal biasanya tidak ada, kelainan diagnose dengan peningkatan TIO dan sudut ruang anterior normal. Peningkatan tekanan dapat dihubungkan dengan nyeri mata yang timbul.
@ Glaukoma sudut tertutup(sudut sempit)
Disebut sudut tertutup karena ruang anterior secara anatomis menyempit sehingga iris terdorong ke depan, menempel ke jaringan trabekular dan menghambat humor aqueous mengalir ke saluran schlemm. Pergerakan iris ke depan dapat karena peningkatan tekanan vitreus, penambahan cairan di ruang posterior atau lensa yang mengeras karena usia tua. Gejala yang timbul dari penutupan yang tiba- tiba dan meningkatnya TIO, dapat berupa nyeri mata yang berat, penglihatan yang kabur dan terlihat hal. Penempelan iris menyebabkan dilatasi pupil, bila tidak segera ditangani akan terjadi kebutaan dan nyeri yang hebat.
2. Glaukoma sekunder
Dapat terjadi dari peradangan mata , perubahan pembuluh darah dan trauma . Dapat mirip dengan sudut terbuka atau tertutup tergantung pada penyebab.
- Perubahan lensa
- Kelainan uvea
- Trauma
- bedah
3. Glaukoma kongenital
- Primer atau infantil
- Menyertai kelainan kongenital lainnya
4. Glaukoma absolut
Merupakan stadium akhir glaukoma ( sempit/ terbuka) dimana sudah terjadi kebutaan total akibat tekanan bola mata memberikan gangguan fungsi lanjut .Pada glaukoma absolut kornea terlihat keruh, bilik mata dangkal, papil atrofi dengan eksvasi glaukomatosa, mata keras seperti batu dan dengan rasa sakit.sering mata dengan buta ini mengakibatkan penyumbatan pembuluh darah sehingga menimbulkan penyulit berupa neovaskulisasi pada iris, keadaan ini memberikan rasa sakit sekali akibat timbulnya glaukoma hemoragik.
Pengobatan glaukoma absolut dapat dengan memberikan sinar beta pada badan siliar, alkohol retrobulber atau melakukan pengangkatan bola mata karena mata telah tidak berfungsi dan memberikan rasa sakit.

Berdasarkan lamanya :
1. GLAUKOMA AKUT
a. Definisi
Glaukoma akut adalah penyakit mata yang disebabkan oleh tekanan intraokuler yang meningkat mendadak sangat tinggi.
b. Etiologi
Dapat terjadi primer, yaitu timbul pada mata yang memiliki bakat bawaan berupa sudut bilik mata depan yang sempit pada kedua mata, atau secara sekunder sebagai akibat penyakit mata lain. Yang paling banyak dijumpai adalah bentuk primer, menyerang pasien usia 40 tahun atau lebih.
c. Faktor Predisposisi
Pada bentuk primer, faktor predisposisinya berupa pemakaian obat-obatan midriatik, berdiam lama di tempat gelap, dan gangguan emosional. Bentuk sekunder sering disebabkan hifema, luksasi/subluksasi lensa, katarak intumesen atau katarak hipermatur, uveitis dengan suklusio/oklusio pupil dan iris bombe, atau pasca pembedahan intraokuler.
d. Manifestasi klinik
1). Mata terasa sangat sakit. Rasa sakit ini mengenai sekitar mata dan daerah belakang kepala .
2). Akibat rasa sakit yang berat terdapat gejala gastrointestinal berupa mual dan muntah , kadang-kadang dapat mengaburkan gejala glaukoma akut.
3). Tajam penglihatan sangat menurun.
4). Terdapat halo atau pelangi di sekitar lampu yang dilihat.
5). Konjungtiva bulbi kemotik atau edema dengan injeksi siliar.
6). Edema kornea berat sehingga kornea terlihat keruh.
7). Bilik mata depan sangat dangkal dengan efek tyndal yang positif, akibat timbulnya reaksi radang uvea.
8). Pupil lebar dengan reaksi terhadap sinar yang lambat.
9). Pemeriksaan funduskopi sukar dilakukan karena terdapat kekeruhan media penglihatan.
10). Tekanan bola mata sangat tinggi.
11). Tekanan bola mata antara dua serangan dapat sangat normal.
e. Pemeriksaan Penunjang
Pengukuran dengan tonometri Schiotz menunjukkan peningkatan tekanan.
Perimetri, Gonioskopi, dan Tonografi dilakukan setelah edema kornea menghilang.
f. Penatalaksanaan
Penderita dirawat dan dipersiapkan untuk operasi. Dievaluasi tekanan intraokuler (TIO) dan keadaan mata. Bila TIO tetap tidak turun, lakukan operasi segera. Sebelumnya berikan infus manitol 20% 300-500 ml, 60 tetes/menit. Jenis operasi, iridektomi atau filtrasi, ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaab gonoskopi setelah pengobatan medikamentosa.
2. GLAUKOMA KRONIK
a. Definisi
Glaukoma kronik adalah penyakit mata dengan gejala peningkatan tekanan bola mata sehingga terjadi kerusakan anatomi dan fungsi mata yang permanen.
b. Etiologi
Keturunan dalam keluarga, diabetes melitus, arteriosklerosis, pemakaian kortikosteroid jangka panjang, miopia tinggi dan progresif.
c. Manifestasi klinik
Gejala-gejala terjadi akibat peningkatan tekanan bola mata. Penyakit berkembang secara lambat namun pasti. Penampilan bola mata seperti normal dan sebagian tidak mempunyai keluhan pada stadium dini. Pada stadium lanjut keluhannya berupa pasien sering menabrak karena pandangan gelap, lebih kabur, lapang pandang sempit, hingga kebutaan permanen.
d. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan tekanan bola mata dengan palpasi dan tonometri menunjukkan peningkatan. Nilai dianggap abnormal 21-25 mmHg dan dianggap patologik diatas 25 mmHg.
Pada funduskopi ditemukan cekungan papil menjadi lebih lebar dan dalam, dinding cekungan bergaung, warna memucat, dan terdapat perdarahan papil. Pemeriksaan lapang pandang menunjukkan lapang pandang menyempit, depresi bagian nasal, tangga Ronne, atau skotoma busur.
e. Penatalaksanaan
Pasien diminta datang teratur 6 bulan sekali, dinilai tekanan bola mata dan lapang pandang. Bila lapang pandang semakin memburuk,meskipun hasil pengukuran tekanan bola mata dalam batas normal, terapi ditingkatkan. Dianjurkan berolahraga dan minum harus sedikit-sedikit.

E. ASUHAN KEPERAWATAN
1). Pengkajian
a) Aktivitas / Istirahat :
Perubahan aktivitas biasanya / hobi sehubungan dengan gangguan penglihatan.
b) Makanan / Cairan :
Mual, muntah (glaukoma akut)
c) Neurosensori :
Gangguan penglihatan (kabur/tidak jelas), sinar terang menyebabkan silau dengan kehilangan bertahap penglihatan perifer, kesulitan memfokuskan kerja dengan dekat/merasa di ruang gelap (katarak).
Penglihatan berawan/kabur, tampak lingkaran cahaya/pelangi sekitar sinar, kehilangan penglihatan perifer, fotofobia(glaukoma akut).
Perubahan kacamata/pengobatan tidak memperbaiki penglihatan.
Tanda :
Papil menyempit dan merah/mata keras dengan kornea berawan.
Peningkatan air mata.
d) Nyeri / Kenyamanan :
Ketidaknyamanan ringan/mata berair (glaukoma kronis)
Nyeri tiba-tiba/berat menetap atau tekanan pada dan sekitar mata, sakit kepala (glaukoma akut).
e) Penyuluhan / Pembelajaran
Riwayat keluarga glaukoma, DM, gangguan sistem vaskuler.
Riwayat stres, alergi, gangguan vasomotor (contoh: peningkatan tekanan vena), ketidakseimbangan endokrin.
Terpajan pada radiasi, steroid/toksisitas fenotiazin.
2). Pemeriksaan Diagnostik
(1) Kartu mata Snellen/mesin Telebinokular (tes ketajaman penglihatan dan sentral penglihatan) : Mungkin terganggu dengan kerusakan kornea, lensa, aquous atau vitreus humor, kesalahan refraksi, atau penyakit syaraf atau penglihatan ke retina atau jalan optik.
(2) Lapang penglihatan : Penurunan mungkin disebabkan CSV, massa tumor pada hipofisis/otak, karotis atau patologis arteri serebral atau glaukoma.
(3) Pengukuran tonografi : Mengkaji intraokuler (TIO) (normal 12-25 mmHg)
(4) Pengukuran gonioskopi :Membantu membedakan sudut terbuka dari sudut tertutup glaukoma.
(5) Tes Provokatif :digunakan dalam menentukan tipe glaukoma jika TIO normal atau hanya meningkat ringan.
(6) Pemeriksaan oftalmoskopi:Mengkaji struktur internal okuler, mencatat atrofi lempeng optik, papiledema, perdarahan retina, dan mikroaneurisma.
(7) Darah lengkap, LED :Menunjukkan anemia sistemik/infeksi.
(8) EKG, kolesterol serum, dan pemeriksaan lipid: Memastikan aterosklerosisi,PAK.
(9) Tes Toleransi Glukosa :menentukan adanya DM.
F. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi
a. Nyeri b/d peningkatan tekanan intra okuler (TIO) yang ditandai dengan mual dan muntah.
Tujuan : Nyeri hilang atau berkurang
Kriteria hasil :
- pasien mendemonstrasikan pengetahuan akan penilaian pengontrolan nyeri
- pasien mengatakan nyeri berkurang/hilang
- ekspresi wajah rileks
Intervensi :
- kaji tipe intensitas dan lokasi nyeri
- kaji tingkatan skala nyeri untuk menentukan dosis analgesik
- anjurkan istirahat ditempat tidur dalam ruangan yang tenang
- atur sikap fowler 300 atau dalam posisi nyaman.
- Hindari mual, muntah karena ini akan meningkatkan TIO
- Alihkan perhatian pada hal-hal yang menyenangkan
- Berikan analgesik sesuai anjuran
b. Gangguan persepsi sensori : penglihatan b.d gangguan penerimaan;gangguan status organ ditandai dengan kehilangan lapang pandang progresif.
Tujuan : Penggunaan penglihatan yang optimal
Kriteria Hasil:
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan
- Pasien akan mempertahankan lapang ketajaman penglihatan tanpa kehilangan lebih lanjut.
Intervensi :
- Pastikan derajat/tipe kehilangan penglihatan
- Dorong mengekspresikan perasaan tentang kehilangan / kemungkinan kehilangan penglihatan
- Tunjukkan pemberian tetes mata, contoh menghitung tetesan, menikuti jadwal, tidak salah dosis
- Lakukan tindakan untuk membantu pasien menanganiketerbatasan penglihatan, contoh, kurangi kekacauan,atur perabot, ingatkan memutar kepala ke subjek yang terlihat; perbaiki sinar suram dan masalah penglihatan malam.
- Kolaborasi obat sesuai dengan indikasi
c. Ansitas b. d faktor fisilogis, perubahan status kesehatan, adanya nyeri, kemungkinan/kenyataan kehilangan penglihatan ditandai dengan ketakutan, ragu-ragu, menyatakan masalah tentang perubahan kejadian hidup.
Tujuan : Cemas hilang atau berkurang
Kriteria Hasil:
- Pasien tampak rileks dan melaporkan ansitas menurun sampai tingkat dapat diatasi.
- Pasien menunjukkan ketrampilan pemecahan masalah
- Pasien menggunakan sumber secara efektif
Intervensi :
- Kaji tingkat ansitas, derajat pengalaman nyeri/timbul nya gejala tiba-tiba dan pengetahuan kondisi saat ini.
- Berikan informasi yang akurat dan jujur. Diskusikan kemungkinan bahwa pengawasan dan pengobatan mencegah kehilangan penglihatan tambahan.
- Dorong pasien untuk mengakui masalah dan mengekspresikan perasaan.
- Identifikasi sumber/orang yang menolong.
d. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) tentang kondisi, prognosis, dan pengobatan b.d kurang terpajan/tak mengenal sumber, kurang mengingat, salah interpretasi, ditandai dengan ;pertanyaan, pernyataan salah persepsi, tak akurat mengikuti instruksi, terjadi komplikasi yang dapat dicegah.
Tujuan : Klien mengetahui tentang kondisi,prognosis dan pengobatannya.
Kriteria Hasil:
- pasien menyatakan pemahaman kondisi, prognosis, dan pengobatan.
- Mengidentifikasi hubungan antar gejala/tanda dengan proses penyakit
- Melakukan prosedur dengan benar dan menjelaskan alasan tindakan.
Intervensi :
- Diskusikan perlunya menggunakan identifikasi,
- Tunjukkan tehnik yang benar pemberian tetes mata.
- Izinkan pasien mengulang tindakan.
- Kaji pentingnya mempertahankan jadwal obat, contoh tetes mata. Diskusikan obat yang harus dihindari, contoh midriatik, kelebihan pemakaian steroid topikal.
- Identifikasi efek samping/reaksi merugikan dari pengobatan (penurunan nafsu makan, mual/muntah, kelemahan,
jantung tak teratur dll.
- Dorong pasien membuat perubahan yang perlu untuk pola hidup
- Dorong menghindari aktivitas,seperti mengangkat berat/men dorong, menggunakan baju ketat dan sempit.
- Diskusikan pertimbangan diet, cairan adekuat dan makanan berserat.
- Tekankan pemeriksaan rutin.
- Anjurkan anggota keluarga memeriksa secara teratur tanda glaukoma.
DAFTAR PUSTAKA
1. Junadi P. dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Media Aesculapius, FK-UI, 1982
2. Sidarta Ilyas, Ilmu Penyakit Mata, FKUI, 2000.
3. Long C Barbara. Medical surgical Nursing. 1992
4. Doungoes, marilyn E, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan pendokumentasian perawatan pasien. Ed 3, EGC, Jakarta, 2000
5. Susan Martin Tucker, Standar Perawatan Pasien : Proses Keperawatan, Diagnosisi dan Evaluasi. Ed 5 Vol3 EGC. Jakarta 1993

Minggu, 09 Mei 2010

ATRESIA ANI

ASKEP ATRESIA ANI
MUHAMMAD SAMSUWIDARTA
04-07-1763
E/KP/VI
1. Definisi
Istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu “a” yang berarti tidak ada dan trepsis yang berarti makanan atau nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia adalah suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal.
Atresia ani adalah malformasi congenital dimana rectum tidak mempunyai lubang keluar (Walley,1996). Ada juga yang menyebutkan bahwa atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal (Suriadi,2001). Sumber lain menyebutkan atresia ani adalah kondisi dimana rectal terjadi gangguan pemisahan kloaka selama pertumbuhan dalam kandungan.
Jadi menurut kesimpulan penulis, atresia ani adalah kelainan congenital anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi saat kehamilan.
Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat atau pemeriksaan perineum.
2. Etiologi
Etiologi secara pasti atresia ani belum diketahui, namun ada sumber mengatakan kelainan bawaan anus disebabkan oleh gangguan pertumbuhan, fusi, dan pembentukan anus dari tonjolan embriogenik. Pada kelainan bawaananus umumnya tidak ada kelainan rectum, sfingter, dan otot dasar panggul. Namun demikian pada agenesis anus, sfingter internal mungkin tidak memadai. Menurut peneletian beberapa ahli masih jarang terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani. Orang tua yang mempunyai gen carrier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetic, kelainan kromosom atau kelainan congenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rectum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rectum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.


Faktor predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir seperti :
1. Sindrom vactrel (sindrom dimana terjadi abnormalitas pada vertebral, anal, jantung, trachea, esofahus, ginjal dan kelenjar limfe).
2. Kelainan sistem pencernaan.
3. Kelainan sistem pekemihan.
4. Kelainan tulang belakang.
3. Klasifikasi
Secara fungsional, pasien atresia ani dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar yaitu :
1. Yang tanpa anus tetapi dengan dekompresi adequate traktus gastrointestinalis dicapai melalui saluran fistula eksterna.
Kelompok ini terutma melibatkan bayi perempuan dengan fistula rectovagina atau rectofourchette yang relatif besar, dimana fistula ini sering dengan bantuan dilatasi, maka bisa didapatkan dekompresi usus yang adequate sementara waktu.
2. Yang tanpa anus dan tanpa fistula traktus yang tidak adequate untuk jalam keluar tinja.
Pada kelompok ini tidak ada mekanisme apapun untuk menghasilkan dekompresi spontan kolon, memerlukan beberapa bentuk intervensi bedah segera. Pasien bisa diklasifikasikan lebih lanjut menjadi 3 sub kelompok anatomi yaitu :
1. Anomali rendah
Rectum mempunyai jalur desenden normal melalui otot puborectalis, terdapat sfingter internal dan eksternal yang berkembang baik dengan fungsi normal dan tidak terdapat hubungan dengan saluran genitourinarius.
2. Anomali intermediet
Rectum berada pada atau di bawah tingkat otot puborectalis; lesung anal dan sfingter eksternal berada pada posisi yang normal.

3. Anomali tinggi
Ujung rectum di atas otot puborectalis dan sfingter internal tidak ada. Hal ini biasanya berhungan dengan fistuls genitourinarius – retrouretral (pria) atau rectovagina (perempuan). Jarak antara ujung buntu rectum sampai kulit perineum lebih daai1 cm.
Sedangkan menurut klasifikasi Wingspread (1984), atresia ani dibagi 2 golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi menjadi 4 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rectum, perineum datar dan fistel tidak ada. Jika ada fistel urin, tampak mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rectum tindakannya sama pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi.
Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 5 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rectum dan fistel tidak ada. Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feces menjadi tidak lancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai etrhambat saat penderita mulai makan makanan padat. Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.Pada atresia rectum, anus tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm. Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel, dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi.
Golongan II pada laki – laki dibagi 4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. Fistel perineum sama dengan pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anus normal. Pada membran anal biasanya tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan perempuan, tindakan definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara <>
Sedangkan golongan II pada perempuan dibagi 3 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus dan fistel tidak ada. Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi tanda timah anus yang buntu menimbulkan obstipasi. Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit. Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitive. Bila tidak ada fistel dan pada invertogram udara.
4. Patofisiologi
Anus dan rectum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitoury dan struktur anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan migrasi dan perkembangan struktur kolon antara 7 dan 10 mingggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sacral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar anus menyebabkan fecal tidak dapat dikeluarkan sehungga intestinal mengalami obstrksi.
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang terjadi pada atresia ani adalah kegagalan lewatnya mekonium setelah bayi lahir, tidak ada atau stenosis kanal rectal, adanya membran anal dan fistula eksternal pada perineum (Suriadi,2001). Gejala lain yang nampak diketahui adalah jika bayi tidak dapat buang air besar sampai 24 jam setelah lahir, gangguan intestinal, pembesaran abdomen, pembuluh darah di kulir abdomen akan terlihat menonjol (Adele,1996)
Bayi muntah – muntah pada usia 24 – 48 jam setelah lahir juga merupakan salah satu manifestasi klinis atresia ani. Cairan muntahan akan dapat berwarna hijau karena cairan empedu atau juga berwarna hitam kehijauan karena cairan mekonium.
6. Pemeriksaan Penunjang
a) Pemeriksaan radiologis: Dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi intestinal.
b) Sinar X terhadap abdomen: Dilakukan untuk menentukan kejelasan keseluruhan bowel dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rectum dari sfingternya.
c) Ultrasound terhadap abdomen: Digunakan untuk melihat fungsi organ internal terutama dalam system pencernaan dan mencari adanya faktor reversible seperti obstruksi oleh karena massa tumor.
d) CT Scan: Digunakan untuk menentukan lesi.
e) Pyelografi intra vena: Digunakan untuk menilai pelviokalises dan ureter.
f) Pemeriksaan fisik rectum: Kepatenan rectal dapat dilakukan colok dubur dengan menggunakan selang atau jari.
g) Rontgenogram abdomen dan pelvis: Juga bisa digunakan untuk mengkonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan traktus urinarius.
8. Penatalaksaan
1. Penatalaksanaan Medis
a. Malformasi anorektal dieksplorasi melalui tindakan bedah yang disebut diseksi posterosagital atau plastik anorektal posterosagital.
b. Colostomi sementara
2. Penatalaksanaan Keperawatan
2.1 Pengkajian
Diperlukan pengkajian yang cermat dan teliti untuk mengetahui masalah pasien dengan tepat, sebab pengkajian merupakan awal dari proses keperawatan. Dan keberhasilan proses keperawatan tergantung dari pengkajian. Konsep teori yang difunakan penulis adalah model konseptual keperawatan dari Gordon. Menurut Gordon data dapat dikelompokkan menjadi 11 konsep yang meliputi :
1. Persepsi Kesehatan – Pola Manajemen Kesehatan
Mengkaji kemampuan pasien dan keluarga melanjutkan perawatan di rumah.
2. Pola nutrisi – Metabolik
Anoreksia, penurunan BB dan malnutrisi umu terjadi pada pasien dengan atresia ani post kolostomi. Keinginan pasien untuk makan mungkin terganggu oleh mual dan munta dampak dari anestesi.
3. Pola Eliminasi
Dengan pengeluaran melalui saluran kencing, usus, kulit dan paru maka tubuh dibersihkan dari bahan - bahan yang melebihi kebutuhan dan dari produk buangan. Oleh karena pada atresia ani tidak terdapatnya lubang pada anus, sehingga pasien akan mengalami kesulitan dalam defekasi (Whaley & Wong,1996).
4. Pola Aktivitas dan Latihan
Pola latihan dan aktivitas dipertahankan untuk menhindari kelemahan otot.
5. Pola Persepsi Kognitif
Menjelaskan tentang fungsi penglihatan, pendengaran, penciuman, daya ingatan masa lalu dan ketanggapan dalam menjawab pertanyaan.
6. Pola Tidur dan Istirahat
Pada pasien mungkin pola istirahat dan tidur terganggu karena nyeri pada luka inisisi.
7. Konsep Diri dan Persepsi Diri
Menjelaskan konsep diri dan persepsi diri misalnya body image, body comfort. Terjadi perilaku distraksi, gelisah, penolakan karena dampak luka jahitan operasi (Doenges,1993).
8. Peran dan Pola Hubungan
Bertujuan untuk mengetahui peran dan hubungan sebelum dan sesudah sakit. Perubahan pola biasa dalam tanggungjawab atau perubahan kapasitas fisik untuk melaksanakan peran (Doenges,1993).
9. Pola Reproduktif dan Sexual
Pola ini bertujuan menjelaskan fungsi sosial sebagi alat reproduksi (Doenges,1993).
10. Pola Pertahanan Diri, Stress dan Toleransi
Adanya faktor stress lama, efek hospitalisasi, masalah keuangan, rumah (Doenges,1993).
11. Pola Keyakinan dan Nilai
2. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (Whaley & Wong,1996).
3. Diagnosa Keperawatan
mungkin muncul pada pasien atresia ani yaitu:
1) Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
2) Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993).
3) Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1993).
4) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
5) Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi (Suriadi,2001).
6) Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1993).
7) Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1993).
8) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan penumpuksan secket berlebih (Doenges,1993).
9) Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Whaley & Wong,1996).
2. Intervensi Keperawatan
1. Inkontinen bowel (tidak efektif fungsi eksretorik) berhubungan dengan tidak lengkapnya pembentukan anus (Suriadi,2001).
Tujuan yang diharapkan yaitu terjadi peningkatan fungsi usus, dengan kriteria hasil : pasien akan menunjukkan konsistensi tinja lembek, terbentuknya tinja,tidak ada nyeri saat defekasi, tidak terjadi perdarahan. Intervensi :
1) Dilatasikan anal sesuai program.
2) Pertahankan puasa dan berikan terapi hidrasi IV sampai fungsi usus normal.
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi gangguan integritas kulit, dengan kriteria hasil : penyembuhan luka tepat waktu, tidak terjadi kerusakan di daerah sekitar anoplasti.
Intervensi :
1. Kaji area stoma.
2. Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian lembut dan longgar pada area stoma.
3. Sebelum terpasang colostomy bag ukur dulu sesuai dengan stoma.
4. Yakinkan lubang bagian belakang kantong berperekat lebih besar sekitar 1/8 dari ukuran stoma.
5. Selidiki apakah ada keluhan gatal sekitar stoma.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur pembedahan (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah tidak terjadi infeksi, dengan kriteria hasil : tidak ada tanda – tanda infeksi, TTV normal, lekosit normal.
Intervensi :
1. Pertahankan teknik septik dan aseptik secaa ketat pada prosedur medis atau perawatan.
2. Amati lokasi invasif terhadap tanda-tanda infeksi.
3. Pantau suhu tubuh, jumlah sel darah putih.
4. Pantau dan batasi pengunjung , beri isolasi jika memungkinkan.
5. Beri antibiotik sesuai advis dokter.
4. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret berlebih (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah mempertahakan efektif jalan nafas, mengeluarkan sekret tanpa bantuan dengan kriteria hasil : bunyi nafas bersih, menunjukkan perilaku perbaikan jalan nafas misalnya, batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
1. Kaji fungsi pernafasan, contoh : bunyi nafas, kecepatan, irama dan kedalaman dan penggunaan otot tambahan.
2. Catat kemampuan untuk mengeluarkan dahak atau batuk efektif, catat karakter, jumlah spuntum, adanya hemaptoe.
3. Berikan posisi semi fowler dan Bantu pasien untuk batuk efektif dan latihan nafas dalam.
4. Bersihkan secret dari mulut dan trakea, penghisapan sesuai keperluan.
5. Pertahankan masukan cairan sedikitnya 2500 ml/hari kecuali kontra indikasi.
6. Kolaborasi pemberian mukolitik dan bronkodilator.
e. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah kebutuhan nurtisi tubuh tercukupi, dengan kriteria hasil : menunjukkan peningkatan BB, nilai laboratorium normal, bebas tanda mal nutrisi.
Intervensi :
1. Pantau masukan/ pengeluaran makanan / cairan.
2. Kaji kesukaan makanan anak.
3. Beri makan sedikit tapi sering.
4. Pantau berat badan secara periodik.
5. Libatkan orang tua, misal membawa makanan dari rumah, membujuk anak untuk makan.
6. Beri perawatan mulut sebelum makan.
7. Berikan isirahat yang adekuat.
8. Pemberian nutrisi secara parenteral, untuk mempertahankan kebutuhan kalori sesuai program diit.
6. Kecemasan keluarga berhungan dengan prosedur pembedahan dan kondisi bayi.(Suriadi,2001;159)
Tujuan yang diharapkan adalah memberi support emosional pada keluarga, dengan kriteria hasil : keluarga akan mengekspresikan perasaan dan pemahaman terhadap kebutuhan intervensi perawatan dan pengobatan.
Intervensi :
1. Ajarkan untuk mengekspresikan perasaan.
2. Berikan informasi tentang kondisi, pembedahan dan perawatan di rumah.
3. Ajarkan keluarga untuk berpartisipasi dalam perawatan pasien.
4. Berikan pujian pada keluarga saat memberikan perawatan pada pasien.
5. Jelaskan kebutuhan terapi IV, NGT, pengukuran tanda – tanda vital dan pengkajian.
6. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf jaringan (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien akan melaporkan nyeri hilang atau terkontrol, pasien akan tampak rileks, dengan kriteria hasil : ekspresi wajah pasien relaks, TTV normal.
Intervensi :
1. Tanyakan pada pasien tentang nyeri.
2. Catat kemungkinan penyebab nyeri.
3. Anjurkan pemakaian obat dengan benar untuk mengontrol nyeri.
4. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi.
6. Resiko tinggi terhadap konstipasi berhubungan dengan ketidakadekuatan masukan diit (Doenges,1993).
Tujuan yang diharapkan adalah pola eliminasi sesuai kebutuhan, dengan kriteria hasil : BAB 1x/hari, feses lunak, tidak ada rasa nyeri saat defekasi.
Intervensi :
1. Auskultasi bising usus.
2. Observasi pola diit dan itake cairan
7. Gangguan citra diri berhubungan dengan adanya kolostomi (Doenges,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien mau menerima kondisi dirinya sekarang, dengan kriteria hasil : pasien mentatakan menerima perubahan ke dalam konsep diri tanpa harga diri rendah, menunjukkan penerimaan dengan merawat stoma tersebut, menyatakan perasaannya tentang stoma.
Intervensi :
1. Kaji persepsi pasien tentang stoma.
2. Motivasi pasien untuk megungkapkan perasaannya.
3. Kaji ulang tentang alasan pembedahan.
4. Observasi perilaku pasien.
5. Berikan kesempatan pada pasien untuk merawat stomanya.
6. Hindari menyinggung perasaan pasien atau pertahankan hubungan positif.
6. Kurangnya pengetahuan keluarga berhungan dengan kebutuhan perawatan di rumah (Walley & Wong,1996).
Tujuan yang diharapkan adalah pasien dan keluarga memahami perawatan di rumah, dengan kriteria hasil keluarga menunjukkan kemampuan untuk memberikan perawata untuk bayi di rumah.
Intervensi :
1. Ajarkan perawatan kolostomi dan partisipasi dalam perawatan sampai mereka dapat melakukan perawatan.
2. Ajarkan untuk mengenal tanda – tanda dan gejala yang perlu dilaporkan perawat.
3. Ajarkan bagaimana memberikan pengamanan pada bayi dan melakukan dilatasi pada anal secara tepat.
4. Ajarkan cara perawatan luka yang tepat.
5. Latih pasien untuk kebiasaan defekasi.
6. Ajarkan pasien dan keluarga untuk memodifikasi diit (misalnya serat

Gambar atresia ani,,,,,,,, gambar bayi lucu,,,,,,,
http://keperawatan-gun.blogspot.com/2008/06/askep-atresia-ani.html

Sabtu, 08 Mei 2010

ATRESIA BILIER

IIS TURSIAH
04.07.1761
E/KP/VI

ATRESIA BILIER
A. DEFINISI
Atresia Bilier adalah suatu keadaan dimana saluran empedu tidak terbentuk atau tidak berkembang secara normal.
Fungsi dari sistem empedu adalah membuang limbah metabolik dari hati dan mengangkut garam empedu yang diperlukan untuk mencerna lemak di dalam usus halus.
Pada atresia bilier terjadi penyumbatan aliran empedu dari hati ke kandung empedu. Hal ini bisa menyebabkan kerusakan hati dan sirosis hati, yang jika tidak diobati bisa berakibat fatal.
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. terjadi karena proses inflamasi berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan progresif pada duktus bilier ekstrahepatik sehingga menyebabkan hambatan aliran empedu. Jadi, atresia bilier adalah tidak adanya atau kecilnya lumen pada sebagian atau keseluruhan traktus bilier ekstrahepatik yang menyebabkan hambatan aliran empedu
Akibatnya di dalam hati dan darah terjadi penumpukan garam empedu dan peningkatan bilirubin direk.
Hanya tindakan bedah yang dapat mengatasi atresia bilier. Bila tindakan bedah dilakukan pada usia 8 minggu, angka keberhasilannya adalah 86%, tetapi bila pembedahan dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 36%
Insidens atresia biller adalah 1/10.000 sampai 1/14.000 kelahiran hidup (1,4). Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki 1,4 : 1 Dari 904 kasus atresia bilier yang terdaftar di lebih 100 institusi, atresia bilier didapat pada ras Kaukasia (62%), berkulit hitam (20%), Hispanik (11%), Asia (4,2%) dan Indian Amerika (1,5%).

B. PENYEBAB
Atresia bilier terjadi karena adanya perkembangan abnormal dari saluran empedu di dalam maupun diluar hati. Tetapi penyebab terjadinya gangguan perkembangan saluran empedu ini tidak diketahui. Atresia bilier ditemukan pada 1 dari 15.000 kelahiran.

C. GEJALA
Gejala biasanya timbul dalam waktu 2 minggu setelah lahir, yaitu berupa:
• air kemih bayi berwarna gelap
• tinja berwarna pucat
• kulit berwarna kuning
• berat badan tidak bertambah atau penambahan berat badan berlangsung lambat
• hati membesar.
Pada saat usia bayi mencapai 2-3 bulan, akan timbul gejala berikut:
• gangguan pertumbuhan
• gatal-gatal
• rewel
• tekanan darah tinggi pada vena porta (pembuluh darah yang mengangkut darah dari lambung, usus dan limpa ke hati).

D. MANIFESTASI
Manifestasi klinis utama atresia bilier adalah tinja akolik, air kemih seperti air teh, dan ikterus. Ada empat keadaan klinis yang dapat dipakai sebagai patokan untuk membedakan antara kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik, yaitu: berat badan lahir, warna tinja, umur penderita saat tinja mulai akolik, dan keadaan hepar.

E. DIAGNOSA
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil pemeriksaan fisik.
Pada pemeriksaan perut, hati teraba membesar.

Pemeriksaan yang biasa dilakukan:
• Pemeriksaan darah (terdapat peningkatan kadar bilirubin)
• USG perut
• Rontgen perut (tampak hati membesar)
• Kolangiogram
• Biopsi hati
• Laparotomi (biasanya dilakukan sebelum bayi berumur 2 bulan).

F. PENGOBATAN
Prosedur yang terbaik adalah mengganti saluran empedu yang mengalirkan empedu ke usus. Tetapi prosedur ini hanya mungkin dilakukan pada 5-10% penderita.
Untuk melompati atresia bilier dan langsung menghubungkan hati dengan usus halus, dilakukan pembedahan yang disebut prosedur Kasai. Pembedahan akan berhasil jika dilakukan sebelum bayi berusia 8 minggu. Biasanya pembedahan ini hanya merupakan pengobatan sementara dan pada akhirnya perlu dilakukan pencangkokan hati.

Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi, gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan pengalaman ahli bedahnya.

• Bila operasi dilakukan pada usia < 8 minggu maka angka keberhasilannya 71¬86%, sedangkan bila operasi dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34¬43,6%
• Bila operasi Kasai dilakukan pada usia 1¬60 hari, 61¬70 hari,
71¬90 hari dan > 90 hari, maka masing-masing akan memberikan keberhasilan hidup > 10 tahun sebesar 73%, 35%, 23%, dan 11% Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam
• Jadi, faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had, tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi pcnyulit hipertensi
portal.


Daftar pustaka:
 http://medicastore.com/penyakSit/906/Atresia_Bilier.html
 http://www.sebeningembun.com/2010/02/apa-itu-atresia-bilier.html

Minggu, 02 Mei 2010

Kisi-Kisi UTS

Penyebab gga, tanda gga, intervensi kelebihan cairan, komplikasi ggk, faktor resiko infeksi kemih, manisfestasi urolitiasis, perbedaan DM tipe I dan II